Senin, 06 Februari 2012

Kampus dan Produk Lokal

Oleh : Lingga Wardhana

Saat ini dunia media sedang dipenuhi dengan euforia berita mobil Kiat Esemka yang lahir dari Mimpi Sukiyat, pengusaha bengkel mobil dari Klaten, yang bekerja sama dengan Siswa SMK. Tulisan ini tidak akan membahas lebih lanjut mengenai mobil Esemka ini atau ikut “nimbrung” untuk memberikan komentar yang mencibir dan atau mendukung tetapi lebih bagaimana produk lokal dapat diterima baik oleh orang-orang kita sendiri. Yang kita ketahui saat ini orang-orang Indonesia senang dengan produk yang berlabel asing. Tetapi itulah tuntutan globalisasi tidak terasa kita sudah bergulat di dalamnya. Produk-produk luar negeri berhamburan memenuhi pasar Indonesia.

Dulu waktu zaman orde baru penulis sangat bangga dengan IPTN. Dengan produk pesawatnya dan juga dengan sosok BJ Habibie. Yang kemudian pada tahun 2000 direstrukturisasi dengan nama PT. Dirgantara Indonesia dan tidak terdengar gaungnya lagi sampai saat ini. Penulis membayangkan lapangan kerja yang dapat dibuka apabila proyek pembelian 230 unit pesawat Boeing oleh maskapai pesawat Lion Air akhirnya jatuh ke pesawat dalam negeri produksi IPTN apabila perusahaan tersebut masih produktif sampai saat ini.

Penulis juga ingat ada mobil Timor yang dimaksudkan untuk menjadi Mobil Nasional jauh sebelum mobil Esemka muncul. Tetapi karena keruntuhan masa orde baru saat itu berimbas juga pada keruntuhan mobil nasional Timor.

Apakah Indonesia memang  sudah ditakdirkan untuk tidak bisa mengkreasikan sebuah produk dan hanya bergantung pada produk-produk luar saja. Jawaban penulis tidak, mungkin jawaban pembaca sekalian juga sama. Kemudian apa yang bisa kita lakukan untuk mengembangkan Nasionalisme dan Produk Lokal. Semua perubahan berawal dari diri sendiri dari lingkungan yang paling kecil kemudian meluas ke lingkungan sekitar kita.

Local Wisdom pada Kampus

Kebetulan penulis sedang menyelesaikan kuliah S2 dibidang Magister Manajemen. Perkuliahan S2 sangat berbeda dengan perkuliahan di S1 dimana setiap mahasiswa dituntut untuk mengembangkan analisisnya sendiri dan mempresentasikannya berdasarkan studi kasus yang terjadi secara nyata di kehidupan bisnis kemudian akan mendapat masukan-masukan dan sanggahan dari semua orang yang berada di dalam kelas itu. Akan tampak seperti sebuah kolaborasi ide yang akhirnya menghasilkan ide-ide baru yang sangat luar biasa. Yang penulis sayangkan beberapa studi kasus yang dibahas dalam kelas sebagian besar membahas kasus-kasus yang terjadi “di luar sana.” Padahal banyak perusahaan-perusahaan asal Indonesia yang sangat menarik untuk ditelaah dan dijadikan studi kasus. Kebanyakan studi kasus yang dibahas berasal dari Harvard Business Review, MIT Sloan Management Review atau artikel-artikel dari kampus-kampus luar negeri lainnya. Di sisi lain semakin sering produk-produk luar negeri dibahas dalam bangku kuliah semakin melekat brand awarness produk asing tersebut di benak kita.



Sangat baik untuk membedah kasus di perusahaan lokal yang menciptakan produk-produk lokal. Dengan melakukan hal ini akan banyak memberikan pengaruh positif terhadap produk-produk kita. Paling tidak meningkatkan pengenalan kita terhadap produk-produk lokal dan di sisi lain membantu manajemen perusahaan-perusahaan lokal dalam mengatasi permasalahan bisnis mereka. Kenapa bisa demikian? Karena dalam pembahasan di dunia kampus banyak ide-ide segar yang mengalir ke manajemen. Ide-ide yang mungkin tidak terpikirkan selama ini oleh pihak manajemen perusahaan sendiri.

Penulis jadi ingat mengenai tulisan Pak Dahlan Iskan di blognya yang berjudul “Bisakah Merpati Hidup Lagi ?” Dimana saat itu Dahlan Iskan yang menjabat sebagai menteri BUMN menggelar rapat dengan jajaran direksi, komisaris dan seluruh manajer senior maskapai penerbangan tersebut untuk membahas bagaimana agar Merpati bisa hidup kembali. Tidak ada struktural dalam rapat ini semua peserta rapat dapat memberikan ide terbaiknya. Dahlan Iskan yakin banyak ide bagus justru datang dari orang bawah yang langsung bekerja di lapangan bukan konseptor yang bekerja di belakang meja. Meskipun akhirnya harus diiming-imingi sebuah mobil avanza untuk mendatangkan ide yang bagus. Tetapi akhirnya rapat ditutup dengan banyak sekali bermunculan ide-ide yang diharapkan dapat mengembalikan jiwa Merpati.

Strategi

Kembali ke kampus - Beberapa strategi dapat digunakan untuk meningkatkan studi kasus pada produk lokal antara lain dengan memperbanyak workshop atau seminar yang dapat menjadi sarana efektif penghubung antara pihak perusahaan dan pihak kampus. Kegiatan ini dapat berfungsi untuk menggali permasalahan dan untuk mengetahui apakah sebuah ide atau masukan bisa direalisasikan juga  memberikan pengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan. Implikasi baiknya mahasiswa akan bangga idenya diterima oleh perusahaan dan kemungkinan akan merekrut sang mahasiswa untuk merealisasikan ide tersebut.

Strategi kedua adalah memperbanyak buku dan artikel dalam bahasa indonesia, tidak hanya melakukan penterjemahan buku-buku luar negeri tetapi juga memberikan contoh-contoh kasus yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan dan produk-produk Indonesia.

Resistensi

Akan adanya resistensi dari pihak manajemen yang tidak ingin data-data perusahaannya atau strategi perusahaannya terbongkar keluar atau malah menjadi bahan diskusi. Tetapi di dunia web 2.0 saat ini dimana kolaborasi ide dapat memunculkan strategi yang luar biasa, sifat ini sudah kuno. Teknik kolaborasi tidak hanya berguna pada saat pengumpulan materi yang berhubungan dengan artikel-artikel di wikipedia atau tulisan-tulisan blogger yang digabungkan dalam blog wordpress tetapi lebih dari itu, kolaborasi dapat berupa ide strategis perusahaan, produk baru, efisiensi dalam operasi atau cara untuk mengembangkan usaha.

Kedua, akan terdapat resistensi dari perusahaan-perusahaan yang memang tidak mau berubah meskipun ada strategi bagus untuk kearah yang lebih baik. Sebagian besar adalah perusahaan pemerintah yang dukungan dananya memang didukung oleh pemerintah. Meskipun merugi dari tahun-ketahun pihak internal manajemen mungkin tidak mau menerima ide-ide yang dapat merubah kerugian menjadi profit. Di sisi lain perusahaan yang tumbuh dari jiwa entrepreneurship akan sering sekali berubah menyesuaikan kondisi pasar. Entrepreneur membuka mata dan telinganya lebar-lebar untuk masukan-masukan dari luar yang dapat meningkatkan profitnya secara eksponensial.

Ketiga, ada sekelompok orang yang tidak bermasalah dengan berjibunnya produk-produk impor. Kita sebagai negara yang kebanyakan penduduknya bersifat konsumtif dapat secara serta merta langsung menggunakan produk tersebut tidak perlu memikirkan dalam-dalam untuk bagaimana membuat produk, melakukan kegiatan marketing, mendistribusikan, memasarkannya dan terus melakukan inovasi. Hal tersebut benar apabila tingkat pengangguran di Indonesia sudah 0% atau semua penduduk Indonesia sudah diatas garis kemiskinan dan dapat menghidupi dirinya tanpa bekerja. Kenyataannya yang terjadi tidak demikian. Sebenarnya berusaha, berbisnis dan melakukan investasi meningkatkan perekenomian dan juga membuka lapangan pekerjaan, membantu mengentaskan kemiskinan dan pengangguran.

Implementasi

Ide hanyalah sebuah ide jika tidak dilakukan. Kita mengetahui problem lain adalah belum adanya orang-orang yang fokus terhadap hal ini. Sehingga artikel-artikel yang digunakan untuk bahan diskusi dalam kampus pun belum tersedia lengkap. Mari kita mulai tujuan besar untuk meningkatkan brand awarness produk lokal dari langkah kecil yang dimulai dari lingkungan kita sendiri, lingkungan kampus.

Tidak ada komentar: